Tuesday 27 September 2016

TRANSPARANSI KEUANGAN DESA

Transparansi Keuangan Desa



Akhir-akhir ini infografis penggunaan dana di desa menyebar. Tidak hanya di dunia maya, infografis tersebut banyak di muat di media cetak. Informasi mengenai penggunaan dana sesuai aturan pelaksanaan UU Desa, bisa diakses oleh siapa saja. Pengunaan alokasi dana terpampang pada sebuah baliho yang super besar. Infografis ini dipajang di tempat strategi di desa. Tujuannya jelas: memberikan informasi kepada masyarakat.
Informasi ini penting. Sebab siapa saja yang merasa berkepentingan terhadap penggunaan dana di desa akan mudah memahami. Andaikan mereka tak sempat mengikuti musyawarah desa, tak terlalu jadi masalah. Infografis ini bisa membantu.
Besaran prosentase penggunaan dana terlihat pula. Apakah desa tersebut masih fokus di pembangunan fisik, peningkatan kapasitas masyarakat, dan atau sudah mulai memikirkan masa depan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Keberanian Pemerintah Desa memajang infografis ini menjadi bukti. Bahwa desa mampu mengemban amanah pengelolaan dana. Pandangan minor bahwa Pemerintah dan masyarakat desa masih amatir, terkikis. Kekhawatiran akan terjadinya perpindahan praktik korupsi dari pemerintah ke desa pun bisa terjawab. Meski di beberapa tempat kasus tersebut masih ada.
Cara penyajian informasi kepada khalayak ini unik. Berbeda dari kebanyakan. Sisi kreatifitas dioptimalkan. Cara lama dengan sekedar menempelkan fotokopi laporan, tak lagi menarik. Tentu saja penyajian ini pun akan menarik minat orang yang tadinya acuh tak acuh.
Transparansi
Krisis kepercayaan yang melanda bisa teratasi. Memberikan informasi melalui infografis menjadi salah satu solusinya. Prinsip transparansi anggaran terwujud di sini. Baliho infografis yang berukuran jumbo di pajang ditempat terbuka agar semua bisa melihat.
Pada dasarnya pemasangan infografis penggunaan dana merupakan salah satu bentuk implementasi UU Desa. Pasal 82 UU Desa menyebutkan bahwa setiap warga masyarakat berhak menerima informasi pembangunan di desa. Pada pasal 26 dan 27 UU Desa menegaskan kewajiban Kepala Desa untuk memberikan informasi kepada masyarakat.
Penyampaian informasi melalui infografis mengurangi prasangka-prasangka buruk. Infografis ini menjadi pembuka komunikasi dan interaksi antara Pemdes dengan masyarakat. Keterbukaan informasi ini akan menumbuhkan rasa saling percaya. Yang pada akhirnya, saling bahu membahu dalam pembangunan bisa terwujud.
Setelah diakui keberadaannya melalui UU Desa, Desa menjadi entitas publik. Sebagai badan publik, Desa wajib memberikan informasi kepada khalayak ramai. Masyarakat umum yang bukan penduduk setempat pun berhak mendapatkan informasi. Infografis ini menjadi salah satu media nya.
Sudah banyak desa yang menampilkan informasi kegiatan dan keuangan via website. Namun demikian, belum semua bisa mengaksesnya. Kegagapan teknologi bagi masyarakat desa masih terus diupayakan solusi nya oleh teman-teman pegiat TIK. Dengan pengenalan TIK diharapkan masyarakat bisa mengakses banyak informasi mengenai pembangunan. salah satunya melalui melalui banner 

Alat Propaganda
Pemberian informasi mengenai keuangan melalui infografis bisa dijadikan alat propaganda. Keberanian sebuah desa menampilkan informasi ini akan mengugah kesadaran desa lain. Jika mereka bisa, kenapa kita tidak. Karena manfaat positif tentu akan lebih banyak didapat daripada sisi negatifnya.
Jika sebuah desa belum menampilkan infografis mengenai keuangan, masyarakat bisa meminta kepada Pemdes. Mau atau tidak, demi menjaga kredibilitas Pemdes, mereka harus melakukan hal serupa. Jika tidak, sanksi sosial masyarakat akan berlaku. Tingkat kepercayaan mereka terhadap Pemdes akan menurun. Ini akan berimbas pada tingkat partisipasi masyarakat.
Pemasangan baliho infografis, termuat dalam media cetak, terpampang di website desa, dan cara lainnya, seperti mengajak supra desa untuk melakukan hal yang sama. Bertahun-tahun mereka mengelola dana dari pemerintah, sepertinya tak pernah transparan. Banyak masyarakat yang buta akan pengelolaan APBD. Untuk apa kucuran dana dari pemerintah.
Mungkin saja mereka sudah mencoba transparan. Tapi konsumen informasinya masih terbatas pada kalangan tertentu. Masyarakat umum yang jarang berinteraksi, susah mengakses. Pemajangan infografis ini bisa menjadi salah satu alternatif.
Gubernur dan atau Bupati bisa saja memerintahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah untuk melakukannya. Akan lebih bagus lagi jika diikuti oleh semua dinas, instansi, lembaga pendidikan, unsur pemerintah yang lain. Jika ini terjadi, mantap!
Bukan tidak mungkin masyarakat akan lebih mengapresiasi kinerja pemerintah. Tingkat kepercayaan akan meningkat. Masyarakat akan sukarela berpartisipasi dalam pembangunan. Memang butuh waktu.
Berani transparan? Hebat!!!!




daftar pustaka :
1. UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta Peraturan Pelaksanaannya
2. http://kikis.id/infografis-untuk-transparansi-publik/

Monday 26 September 2016

KEWENANGAN DESA

Kewenangan Desa Sebagai Bentuk Kemerdekaan




Asas rekognisi dan subsidiaritas menjadi pembeda UU Desa dengan UU sebelumnya tentang Desa. Menurut kedua asas ini, Desa memiliki kewenangan mengatur urusan rumah tangga nya sendiri berdasar pranata sosial yang berlaku secara turun temurun. Kedudukan desa bukan lagi sub-bagian dari Pemerintah Kabupaten. Desa leluasa melakukan apa saja yang terbaik bagi masyarakatnya. Sepanjang masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat gegap gempita kala menyambut UU Desa. Berbagai seminar, diskusi, dan sosialisasi dilakukan baik saat masih rancangan hingga paska pengesahan. Acara-acara sosialisasi UU Desa dilakukan secara mandiri oleh masyarakat desa. Mereka mengundang pimpinan dan atau anggota Pansus UU Desa untuk menjadi narasumber. Tim Ahli Penyusun UU Desa pun sampai keliling nusantara guna membawa kabar gembira.
Salah satu wujud bawaan UU Desa ialah adanya transfer dana ke desa. Dana yang diperuntukkan guna membangun desa, diberikan secara langsung. Pola pembangunan berubah dari Membangun Desa menjadi Desa Membangun. Pola ini menitikberatkan Desa sebagai subyek pembangunan. Desa lah aktor utama nya. Merah biru warna desa tergantung masyarakatnya.
Kehadiran UU Desa pun mengubah cara kerja pemerintah desa. Mereka yang selama ini lebih banyak melayani supra desa, sekarang tidak lagi. Masyarakat desa lah yang harus dilayani. Mereka pula yang berhak atas informasi pembangunan di desa. Laporan kepada Bupati melalui Camat dalam LKPJ tahunan harusnya baru bisa dilakukan saat masyarakat desa bisa menerimanya.
Penyesuaian Perubahan
Rupanya penyesuaian dalam perubahan revolusioner versi UU Desa masih butuh waktu. Tak sedikit oknum pejabat yang merasa telah berjasa menyalurkan dana ke desa. Hal ini menjadi pembenar bagi nya untuk memberi saran dengan penekanan agar desa melakukan ini dan itu. Jika saran beliau tak diindahkan, akibatnya desa kesulitan mengurus tertib administrasi pencairan dana.
Akan halnya dengan desa, setali tiga uang. Tak sedikit Kepala Desa, Perangkat, BPD, dan lembaga desa lain, lebih suka menunggu instruksi dari supra desa. Instruksi ini akan menjadi pembenar saat ada warga masyarakat yang mempertanyakan kegiatan di desa. Mereka tak merasa percaya diri jika harus mengambil keputusan sendiri. Takut salah. Merasa lebih nyaman diatur. Akhirnya orientasi pelayanan kembali mengarah kepada supra desa daripada masyarakat.
Masyarakat desa yang paham UU Desa menjadi bingung. Lebih-lebih yang tak paham. Mereka seakan tak tahu apa yang mesti diperbuat. Yang dipahami bahwa sekarang desa memiliki banyak uang guna pembangunan. Mekanisme penggunaan, pelaporan, dan evaluasi atas dampaknya terhadap masyarakat, kurang dipahami. Pembelajaran selama PNPM seakan tak dipakai.
Kewenangan Desa
Pemberian hak istimewa melalui kewenangan desa, belum optimal. Desa masih belum bisa berbuat banyak mengenai kewenangan desa. Aktifitas kegiatan berdasar hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa masih jarang ditemui. Meriahnya pembangunan di desa masih berdasarkan kewenangan yang bersifat penugasan. Lemahnya inisiatif masyarakat bisa jadi karena mereka tak paham UU Desa. Bisa dimungkinkan karena Pemdes masih terpenjara oleh kebiasaan lama. Yakni menunggu instruksi.
Ketidakpahaman terhadap UU Desa membuat Desa belum mampu memetakan kewenangannya sendiri. Inventarisasi kewenangan berdasar hak asal usul dan lokal berskala desa, belum berjalan. Bingung. Andai ada desa yang sudah memahami, masih ragu. Haruskah menerbitkan Perdes dulu, atau menunggu regulasi pemerintah.
Belum lagi jika berbicara tentang kewenangan desa yang bertabrakan dengan institusi lain. Desa belum bisa memutuskan. Apalagi pengelolaan aset dalam wilayah administrasi desa, sudah dikuasai oleh institusi yang lebih kuat. Misalnya soal pengelolaan hutan, pasar desa, wisata alam, sumber daya mineral, dan masih banyak lagi.
Inisiatif Lokal
Menuju kemandirian (baca: kemerdekaan) desa memang perlu disiapkan. Persiapan selama menjalani PNPM MP dengan segala bentuk musyawarah, bisa diambil sisi positif nya. Partisipasi masyarakat dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan, berjalan baik selama program. Tak heran jika banyak negara menjiplak pola PNPM.
Seperti yang sering dikatakan oleh Budiman Sudjatmiko, selaku Pimpinan Pansus, UU Desa adalah PNPM plus. Oleh karena nya, mengambil sisi baik dari PNPM, hendaknya dilakukan. Prinsip-prinsip dasar dalam kegiatan PNPM bisa diakomodir.
Perbedaan dalam hal ini terletak pada pengelola dan pengelolaannya. Jika PNPM dilakukan oleh masyarakat, UU Desa dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah Desa. Jika usulan kegiatan PNPM sudah ditentukan kriteria nya, kegiatan pembangunan versi UU Desa, dirumuskan sendiri oleh masyarakat. Oleh karena nya, inisiatif lokal perlu ditingkatkan. Kebiasaan menunggu instruksi semestinya perlahan dihilangkan.
Tidak lagi menggantungkan pada instruksi bukan berarti melawan pemerintah. Konsep bottom up lebih dikedepankan daripada top down. Namun demikian, desa tetap harus berkonsultasi kepada supra desa. Konsultasi dimaksudkan sebagai langkah antisipasi pelanggaran aturan. Bukan dalam rangka minta petunjuk yang bersifat perintah.
Jika Desa (Pemdes dan masyarakat) berani melakukan banyak inisiatif, bukan tak mungkin kesejahteraan akan segera terwujud. Desa tumbuh menjadi entitas yang mandiri dan mampu membangun Indonesia. Permasalahan-permasalahan sosial seperti kemiskinan akan terkikis. Arus urbanisasi akan berkurang. Desa tetap lestari dan melestarikan nilai-nilai kebangsaan.

Merdeka… merdeka… merdeka!
sumber : http://kikis.id/kewenangan-desa-sebagai-bentuk-kemerdekaan/

Penerapan Fintech untuk Koperasi Berskala Nasional

Penerapan Fintech Untuk Koperasi Berskala Nasional


Koperasi merupakan soko guru ekonomi Indonesia. Sayangnya istilah koperasi tak lagi populer. Sepertinya koperasi tak lagi kekinian. Banyak yang pesimis akan berkembangnya koperasi di negeri ini. Perjuangan Bung Hatta dalam menanamkan semangat berkoperasi sepertinya tak nampak.
Memang secara kuantitas, jumlah koperasi sudah banyak. Tapi kualitas koperasi sendiri masih diragukan keprofesionalannya. Tingkat kepercayaan masyarakat masih rendah dengan yang namanya koperasi. Berbagai kasus yang menimpa koperasi membuat mereka seperti antipati. Koperasi bukan lagi pilihan.
Masalah kepercayaan
Transparansi pengelolaan koperasi menjadi masalah utama. Seringnya informasi laporan keuangan dan kegiatan koperasi tak sampai ke para anggota. Para anggota bertanya-tanya apa yang sudah dilakukan pengurus dan pengelola selama ini. Sudah sejauh mana perkembangan dan tingkat keuntungan yang didapat. Apa yang harus dilakukan oleh anggota agar koperasi maju.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak para anggota. Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tak jua hadir, maka tingkat kepercayaan para anggota kepada pengurus akan menurun. Sedikit banyak akan berimbas pada kemajuan koperasi. Perlahan mereka tak lagi peduli dengan koperasi. Stigma negatif akan melekat pada yang namanya koperasi.
Persoalannya bisa jadi bukan karena pengurus teledor. Luasnya cakupan wilayah anggota menjadi kendala. Pengurus ingin menyebarluaskan informasi tentang aktifitas koperasi. Tapi sayangnya biaya penyebarluasan informasi ini terlalu besar. Oleh karena nya hanya pihak-pihak tertentu saja yang dihubungi. Rapat Anggota Tahunan (RAT) pun hanya bisa menghadirkan perwakilan anggota saja.
Kendala ini sangat terasa bagi koperasi berskala nasional. Oleh karena kesulitan itu, dibuatlah AD, ART, dan SOP yang seolah mengistimewakan sebagian anggota atas yang lain. Timbul lah kecemburuan. Mereka yang tidak bisa mengakses informasi aktifitas koperasi merasa dinomorduakan. Pada akhirnya mereka patah semangat.
Pemanfaatan Internet dan Fintech
Jaman sekarang, dimana internet sudah merajalela, sebaiknya dimanfaatkan. Teknologi komunikasi dan informasi bisa meminimalisir permasalahan-permasalahan tersebut diatas. Para anggota sudah bisa mengakses informasi kegiatan dan keuangan melalui website misalnya.
Saat penyelenggaraan RAT, bisa dilakukan live streaming. Para anggota yang tidak bisa menghadirinya, tetap bisa mengikuti berlangsungnya RAT tersebut. Informasi dan komunikasi via online akan menambah kepercayaan anggota terhadap pengurus dan pengelola koperasi.
Sebagai pengembangan bisnis, pemanfaatan Fintech bagi koperasi bisa dilakukan. Para anggota bisa mengakses informasi dan aktifitas bisnis lain menggunakan fasilitas ini. Nomor anggota bisa dijadikan PIN guna mengakses semua fasilitas yang disediakan oleh koperasi. Peningkatan kapasitas pengurus dan pengelola koperasi bisa dilakukan agar ini terwujud.
Jika perbankan bisa menggunakan jaringan ATM untuk transaksi keuangan, mengapa koperasi tidak. Pada dasarnya hampir sama. Istilah nasabah dipergunakan bagi perbankan, sedang koperasi menamainya sebagai anggota. Transaksi-transaksi tunai dan non-tunai bisa dilakukan oleh anggota koperasi juga.
Sebagaimana kita ketahui, koperasi dipandang sebagai bisnis kecil-kecilan yang non-profit. Para anggota pun berasal dari kalangan ekonomi lemah. Tak heran, koperasi sulit berkembang karena keterbatasan modal. Simpanan pokok dan wajib yang dihimpun masih tetap sedikit. Sulit rasanya mengembangkan koperasi jika ini masih terjadi.
Pemanfaatan fintech bisa membantu solusi ini. Para anggota yang tersebar bisa bahu membahu mengumpulkan modal bersama. Transfer antar bank dan atau penggunaan uang virtual akan mempermudah. Modal yang didapat bisa lebih besar. Apalagi saat kepercayaan anggota terhadap pengurus dan pengelola sudah baik.
Untuk menjaga kepercayaan ini, sebaiknya pengurus dan pengelola benar-benar memanfaatkan fintech untuk pengembangan dan memberikan informasi kepada para anggota. Cukup memasukkan PIN, para anggota bisa menerima informasi yang mereka butuhkan. Ini lebih efektif dan efisien.
Pertama, transaksi keuangan anggota
Transaksi keuangan anggota koperasi bisa dilakukan oleh koperasi. Aplikasi bisa diunduh guna melakukan ini. Semua jenis pembayaran akan menguntungkan anggota. Pasalnya kemudahan dalam melakukan transaksi bisa dilayani. Biaya yang dikenakan dalam pemanfaatannya menjadi pendapatan koperasi.
Penyetoran simpanan pokok, wajib, dan sukarela bisa dilakukan melalui aplikasi. Para anggota tidak perlu mengantri. Sekedar membayar itu semua bisa dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi. Termasuk juga saat koperasi bisa mencairkan pinjaman bagi anggota. Tentu lebih aman dan profesional.
Pembelian pulsa, pembayaran listrik, angsuran leasing, asuransi, dan pelbagai transaksi lain pun bisa. Jika pada awalnya pengenaan biaya akan menguntungkan perusahaan, sekarang bisa menguntungkan koperasi. Keuntungan yang didapat akan kembali pada anggota juga.
Memungkinkan pula terjadinya transfer uang antar anggota. Aplikasi yang dibuat, misalnya, akan melakuan autodebet secara otomatis sesuai perintah yang diberikan. Anggota yang berkepentingan memerintahkan sistem aplikasi untuk memindahbukukan sejumlah uang untuk anggota yang lain. Mekanisme transfer akan lebih mudah.
Kedua, transaksi perdagangan antar anggota
Koperasi bisa memanfaatkan fintech untuk pengembangan usaha. Bisnis e-commerce bisa diterapkan di sini. Pengelola koperasi cukup menyediakan platform market place pada aplikasi yang bisa di unduh para anggota. Isi dari market place berupa produk-produk yang dihasilkan oleh para anggota. Sedang bagi anggota yang lain, cukup menjadi reseller.
Peraturan bisa disepakati dan dikukuhkan, bagi mereka calon pemasok produk dan reseller. Misalnya penetapan standarisasi produk, dan atau deposit modal bagi calon reseller. Koperasi tinggal menerapkan selisih harga sebagai keuntungan. Pengambilan selisih harga cukup sedikit saja. Asalkan keuntungan itu diberlakukan per transaksi. Kecepatan transaksi penjualan dan pembelian ini yang harus didorong oleh koperasi.
Kemudahan melakukan usaha bersama melalui platform ini, akan menguntungan semua pihak. Para anggota akan merasakan langsung manfaatnya, sedang koperasi akan diuntungkan dengan selisih harga per transaksi. Akumulasi selisih harga tersebut akan menjadi pendapatan usaha koperasi.
Selain itu, koperasi juga bisa bekerjasama dengan perusahaan produk pabrikan. Produk-produk yang dihasilkan oleh pabrik bisa dipasarkan melalui platform tadi. Pengurus dan pengelola koperasi menjadi penyalur antara perusahaan dengan anggota yang menjadi konsumen atau reseller.
Deposit modal yang dilakukan oleh anggota akan terpotong otomatis dan terakumulasi di koperasi. Tiap periode yang disepakati oleh koperasi dan perusahaan, akumulasi dana bisa diberikan kepada perusahaan sesuai jumlah transaksi. Selisih harga dari produsen ke anggota koperasi, menjadi keuntungan bersama yang akan dibagikan dalam bentuk Sisa Hasil Usaha (SHU).
Ketiga, transaksi pada merchant mitra koperasi
Para anggota koperasi bisa melakukan transaksi layaknya nasabah bank pada merchant yang menjadi mitra koperasi. Layanan ini hanya bisa dilakukan, misalnya, jika saldo atau tabungan mencukupi. Jadi berbeda konsep dengan kartu kredit. Bukan tak mungkin adanya diskon pembayaran.
Koperasi bekerjasama dengan merchant mitra untuk mendapatkan layanan khusus. Ini akan menarik anggota untuk melakukannya. Para merchant mitra akan diuntungkan dengan konsumen dari koperasi. Sebab pengurus dan pengelola koperasi lah yang akan mempromosikan. Sedang anggota akan mendapatkan keuntungan dari kerjasama ini, yakni: layanan khusus dan penambahan pendapatan bagi koperasi.
Untuk mempermudah ini, koperasi bisa menerbitkan kartu member. Dimana kartu dengan chip didalamnya bisa terbaca pada merchant mitra. Ini akan banyak membantu.
Peran Pemerintah
Tidak mudah menerapkan teknologi ini bagi koperasi. Permasalahan soal kebiasaan, modal, dan penerapan aplikasinya. Belum lagi masalah pembuatan aplikasi dan jejaring berskala nasional. Butuh dana yang tak sedikit. Oleh karena nya, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Komitmen kuat dari pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat dalam skala mikro sangat diharapkan.
Paling tidak, ada 3 (tiga) bentuk peran pemerintah, yakni: (1) Menerbitkan regulasi; (2) Melakukan dukungan sistem dan aplikasi, dan (3) Mengadakan uji coba.
1) Menerbitkan regulasi
Regulasi diperlukan untuk melindungi aktifitas ini. Jangan sampai praktek aplikasi ojek online yang sempat menimbulkan masalah, terulang. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah akan membatasi dan melindungi koperasi dari persaingan yang tidak sehat. Operasional fintech yang diterapkan oleh koperasi akan memiliki dasar hukum yang kuat.
Peluang menerbitkan regulasi masih terbuka lebar. Seperti kita ketahui, UU No. 17 tahun 2012 tentang Koperasi sudah dibatalkan. Mengenai perkoperasian memakai aturan lama. Sedang draft RUU Koperasi yang baru masih digodok. Oleh karena nya, bisa saja bisnis melalui pemanfaatan fintech dalam koperasi, dimasukkan dalam salah satu bab.
2) Dukungan sistem dan aplikasi
Seperti yang telah dituliskan diatas, koperasi tak mudah mengerjakan sistem ini. Salah satu nya faktor permodalan. Tentu koperasi akan kewalahan membayar sistem aplikasi guna keperluan ini. Dukungan pemerintah dalam hal pengadaan aplikasi sangat diharapkan. Tentu saja termasuk penerapannya.
Aplikasi yang seperti ini masih terasa awam bagi sebagian orang. Perlu pembiasaan dalam pemanfaatannya. Pemerintah bisa melakukan dukungan penerapan fintech di sini. Terkait manajemen internal koperasi dengan penerapan aplikasi ini, pun mesti terus ditingkatkan kapasitasnya.
3) Mengadakan uji coba
Jika pemerintah serius dalam program pengentasan kemiskinan, uji coba ini bisa dilakukan. Sebab keberadaan koperasi lebih bisa di jangkau daripada perusahaan. Semua warga negara bisa ikut terlibat didalamnya. Mereka menjadi anggota dan sekaligus calon konsumen bagi koperasi.
Dalam melakukan uji coba penerapan koperasi yang memanfaatkan fintech bisa menjadi satu program tersendiri. Program yang pro rakyat.
Pemerintah bisa menunjuk beberapa koperasi yang sudah ada sebagai uji coba. Koperasi ini akan diberi aplikasi yang sudah dibuat oleh pemerintah. Dukungan sosialisasi dan pendampingan pun harus dilakukan. Dengan harapan konsep ini bisa terimplementasikan dengan baik. Jika terlalu sulit, pemerintah melalui program khusus, bisa mendirikan koperasi guna itu.
Jika masih pada tataran konsep, semua memang bisa diperdebatkan. Tapi yakinlah, “tak ada gunung yang terlalu tinggi, jika ada kemauan”.


sumber : http://kikis.id/penerapan-fintech-untuk-koperasi-berskala-nasional/